- Beranda
- / berita
- / Blog
- / Strategi Membangun Pertahanan terhadap Serangan Siber bagi Pelaku Industri Sistem Pembayaran
Strategi Membangun Pertahanan terhadap Serangan Siber bagi Pelaku Industri Sistem Pembayaran
Jun 28, 2024
Isu
keamanan siber kembali memunculkan kekhawatiran bagi banyak pihak setelah Pusat
Data Nasional (PDN) yang dikelola oleh salah satu instansi pemerintah Indonesia
menjadi sasaran serangan ransomware. Ransomware merupakan jenis malware
yang mengancam untuk merusak atau memblokir akses ke data atau sistem penting
hingga tebusan dibayar.
Kasus
ini tidak hanya menyoroti risiko kebocoran data dan gangguan layanan, tetapi
juga mengingatkan industri terhadap urgensi menanggapi isu keamanan siber
dengan serius, termasuk di industri sistem pembayaran. Industri ini saat ini
sedang mengalami pertumbuhan pesat seiring dengan adopsi inovasi pembayaran
digital di Indonesia, yang dapat meningkatkan risiko keamanan siber.
Diketahui
menurut Bank Indonesia (BI), nilai transaksi QRIS mencapai Rp 229,96 Triliun
pada tahun 2023 dengan 45,78 juta pengguna aktif. Global Payment Report tahun
2024 juga menunjukkan bahwa dompet digital telah menjadi pilihan utama untuk
pembayaran online pada tahun 2023, dan diperkirakan akan mendominasi baik
pada transaksi Point of Sales (POS) maupun transaksi online di
tahun 2027.
Risk in
Focus 2024 oleh The Institute of Internal Auditor juga menyebutkan bahwa tiga
risiko tertinggi di dunia saat ini adalah keamanan siber, human capital
dan kontinuitas bisnis. Laporan tersebut menggarisbawahi pentingnya untuk
mengatasi tantangan keamanan siber yang semakin kompleks, yang semakin
diperparah dengan lonjakan serangan siber yang mengancam sektor keuangan.
Transformasi
digital saat ini ini tidak hanya membawa manfaat signifikan bagi masyarakat,
tetapi juga meningkatkan ancaman serangan siber yang perlu diwaspadai. Oleh
karena itu, pelaku industri sistem pembayaran perlu mengambil langkah
sungguh-sungguh untuk mengurangi risiko tersebut. Artikel ini akan mengulas
beberapa upaya yang dapat dilakukan pelaku industri dalam memperkuat
pertahanannya demi memerangi serangan siber dan meningkatkan perlindungan nasabah.
Upaya Membangun Pertahanan terhadap Serangan Siber
Keamanan siber bukan lagi sekedar masalah teknis, tetapi
juga menjadi fokus utama dalam menjaga kepercayaan publik dan melindungi data
nasabah dari potensi risiko kebocoran atau penyalahgunaan. Pelindungan data
yang efektif tidak hanya melibatkan implementasi teknologi canggih, tetapi juga
kesadaran akan ancaman yang semakin kompleks serta kesiapan untuk merespons dan
memulihkan sistem dengan cepat setelah terjadinya insiden keamanan.
Di samping itu, membangun pertahanan yang kuat terhadap
serangan siber tidak hanya menjadi tanggung jawab sektor keuangan semata,
melainkan juga sebuah kewajiban bagi semua pihak terlibat. Perlindungan
terhadap infrastruktur digital dan data sensitif bukan lagi sekadar pilihan,
melainkan suatu keharusan untuk menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan global
di era digital ini.
Untuk itu, setidaknya ada 3 cara membangun pertahanan terhadap serangan siber yang bisa diterapkan pelaku industri sistem pembayaran berikut ini:
1. Membangun Budaya Keamanan Siber
Peningkatan kesadaran terhadap ancaman
siber baik untuk karyawan maupun pelanggan perlu diterapkan melalui program
edukasi yang terencana. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang praktik
keamanan seperti pelindungan data pribadi, cara menjaga perangkat kerja hingga
cara mengenali serangan siber, individu dapat menjadi lebih waspada dan
mengurangi risiko terhadap serangan.
Selain itu, pelaksanaan cyber
security drill secara berkala merupakan langkah proaktif untuk menguji
respons dan kesiapsiagaan dalam menghadapi serangan siber. Melalui simulasi
ini, organisasi dapat mengidentifikasi kelemahan dalam sistem keamanan mereka
dan melakukan perbaikan yang diperlukan untuk memperkuat pertahanan mereka.
Terakhir, penilaian rutin terhadap risiko keamanan siber dan penerapan Cyber Security Maturity Model membantu organisasi mengevaluasi tingkat kematangan keamanan mereka secara sistematis. Dengan pendekatan ini, organisasi dapat mengidentifikasi area yang memerlukan perhatian lebih besar untuk meningkatkan ketahanan mereka terhadap ancaman siber yang semakin kompleks dan berbahaya.
2. Disiplin Eksekusi Penanganan Serangan
Disiplin eksekusi dalam merespon dan
memulihkan diri dari serangan siber krusial bagi keberhasilan suatu perusahaan
dalam menghadapi ancaman keamanan siber. Pada aspek teknis, langkah-langkah
seperti mengisolasi atau memutuskan koneksi dari jaringan internet untuk
mencegah penyebaran lebih luas, tidak mematikan atau me-restart sistem
atau perangkat, pemeriksaan backup data serta identifikasi jenis ransomware
harus segera dilakukan untuk memulihkan sistem yang terkena dampak.
Sementara pada aspek non teknis,
aktivasi tim Respon Insiden Keamanan Siber (CSIRT) sangat penting dilakukan untuk
menangani serangan dengan cepat dan efektif. Komunikasi krisis yang terbuka
kepada seluruh pihak terkait juga merupakan langkah penting, dimana kejelasan
dan transparansi informasi dari perusahaan kepada publik adalah kunci untuk
memelihara kepercayaan di tengah serangan. Langkah non teknis ini perlu
dijalankan secara pararel demi memperkuat upaya mitigasi yang dilakukan perusahaan.
Setelah serangan, fokus beralih ke langkah pemulihan yang meliputi pemulihan dari sistem backup yang terpercaya dan analisis mendalam untuk memahami sumber dan dampak serangan tersebut. Hasil dari analisis pasca-insiden digunakan untuk memperbarui kebijakan keamanan serta meningkatkan kesiagaan melalui audit keamanan berkala dan evaluasi efektivitas langkah-langkah keamanan. Dengan pendekatan yang terintegrasi dan berkelanjutan ini, perusahaan diharapkan dapat lebih siap menghadapi serangan siber di masa depan dan mengurangi dampak yang mungkin timbul.
3. Kolaborasi Berbasis GRC (Governance, Risk, and
Compliance)
Kolaborasi lintas pemangku kepentingan
berbasis GRC melibatkan regulator seperti BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan
Pemerintah bersama komunitas sistem pembayaran termasuk Penyedia Jasa
Pembayaran (PJP), Penyelenggara Infrastruktur Sistem Pembayaran (PIP), vendor, hingga
prinsipal. Ini memungkinkan pelaku industri berbagi informasi tentang ancaman
dan serangan siber, yang dapat memperkuat keamanan kolektif dengan respons yang
lebih cepat dan efektif.
Di samping itu, kepatuhan terhadap
regulasi dan standar mutu baik nasional maupun internasional penting diterapkan
untuk mempertahankan integritas serta kepercayaan dalam sistem pembayaran dan
sektor keuangan secara keseluruhan. Standar kepatuhan ini di antaranya meliputi
PCI DSS, PCI PIN, ISO 27001, NIST Cybersecurity Framework, GDPR, PBI, serta
POJK yang dapat memastikan praktik keamanan ketat diterapkan oleh semua pihak
yang terlibat dalam ekosistem sistem pembayaran.
Kerja sama antara komunitas sistem
pembayaran dan regulator juga dapat mendorong pengembangan teknologi keamanan
inovatif demi menghadapi tantangan serangan siber yang efektif di masa depan.
Langkah ini tidak hanya memperkuat ketahanan sistem pembayaran, tetapi juga
memastikan perlindungan data nasabah dan integritas transaksi keuangan yang
lebih kuat.
Dalam membangun pertahanan terhadap
serangan siber, penting untuk membangun budaya sadar keamanan siber dan melakukan
edukasi jangka panjang baik kepada karyawan maupun masyarakat. Upaya ini
diperkuat dengan disiplin eksekusi terhadap strategi keamanan yang telah
disusun demi mengurangi risiko dan meningkatkan keandalan layanan. Di samping
itu, kolaborasi lintas pemangku kepentingan berbasis GRC sangatlah penting untuk
menciptakan ekosistem keuangan digital yang aman dan dapat dipercaya bagi
masyarakat luas.
Keamanan siber bukan menjadi tanggung jawab satu pihak, tetapi merupakan tanggung jawab bersama. Risiko keamanan transaksi digital terus meningkat seiring dengan berkembangnya inovasi sistem pembayaran nasional, sehingga ke depannya diharapkan pelaku industri dapat terus menerapkan upaya keamanan siber yang serius dan berkelanjutan dalam menghadapi ancaman yang terus berkembang.
Artikel Terbaru